Jumat, 15 Januari 2010

Quo Vadis Indonesia di Era Globalisasi

"Neither globalism nor isolationism, neither multilateralism nor unilateralism will best serve American interests. Its interest will be most effectively advanced if AS eschews those extremes and instead adopts an Atlanticist policy of close cooperation with its European partners, one that will protect and promote the interests, values, and culture of the precious and unique civilization they share."

( Samuel Huntington )

Film Supersize Me yang berhasil mendapatkan penghargaan di festival Film Sundance 2004 dan juga berhasil menggondol penghargaan kategori sutradara terbaik di Festival Edinburg 2004 setidaknya telah membuka kembali lembaran file ingatan kita akan satu dekade yang sarat dengan gelembung fenomena panjang. Serta membayar dengan mahal hari-hari panjang dalam decade itu dengan sejumlah eksploitasi negara-negara berkembang dan para sosiolog serta ekonom dunia hampir telah sepakat belakangan ini sebagai sebuah grand design peradaban penduduk dunia pada satu wajah, satu bendera, satu brand, dan satu kekuatan tunggal.

Baik itu berasal dari para sosiolog maupun ekonom dunia. Hal ini sebagai angin yang positif maupun pesimis dalam penyikapannya hampir menjadi kesepakatan akan sederet konsekuensi dan implikasi yang mengarah pada analisa awal sosiolog dan ekonom dalam mengidentifikasikan gejala ini dan kelak kita lebih akrab memangggilnya dalam kamus peradaban kita sebagai Globalisasi.

Standar ganda ?

Dipercayai oleh para pemeluknya yang memiliki andil besar dalam penandatanganan GATT (Generate Agreement on Tariff and Trade ) yang dimulai di Uruguai dan berkahir dengan penandatangan di Maroko ini bahwa globalisasi dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi dunia hingga mengentaskan kemiskinan dan mengentaskan pengangguran serta memberikan fasilitas kenyamanan berupa kemudahan mengakses kesehatan dan kemajuan teknologi untuk mempercepat proses perdagangan antar negara yang tak dapat dicapai dalam skala biasa oleh negara-negara berkembang atawa bahasa realistisnya “Negara-negara Dunia Ketiga yang Terbelakang”.

Maka, Redho gak redho Globalisasi sudah nyata dan bukan lagi pada tahap isu apalagi wacana seperti tesis yang diajukan oleh kalangan tradisionalis dalam kajian sosiologi kontemporer dan kenyataanya still show must go on serta memaksa para intelektual ekonomi hingga para menteri keuangan di negara-negara miskin, menurut Joseph Stiglitz, untuk “berpindah agama” jika perlu mendapatkan bantuan dan dana segar dari Bank Dunia dan IMF yang dipercaya memiliki resep ampuh untuk mencegah depresiasi dan berulang-ulangnya krisis keuangan dunia.

Yeah as we know kenyataanya dalam pangsa liberalisasi perdagangan setelah ditandatanginya GATT di Marakesh, tersebut akhirnya menjelma bumerang, Kebijakan politik dumping di luar negeri dalam perdagangan ekspor – Impor semakin dibatasi dengan sejumlah kuota dan persyaratan yang rumit dari negara-negara maju bagi negara-negara pengekspor mereka dari negara-negara berkembang seperti halnya yang menimpa Indonesia dan sejumlah negara-negara Amerika latin dan Asia tenggara.

Di sisi lain, Indonesia menjadi ladang subur politik dumping negara-negara pengimpor seperti Australia, Jepang, dan Uni Eropa serta diberlakukannya batasan terhadap kebijakan Proteksionisme yang menjadi konsekuensi dari penandatangan GATT tersebut setidaknya telah membuat industri dalam negeri seperti otomotif semakin tersisih dari persaingan dan yang paling parah tak diminati oleh orang Indonesia itu sendiri. Although, Pemerintah sudah begitu rajin untuk menggalakan himbauan mencintai produk dalam negeri sendiri tapi masyarakat jelas lebih cerdas memilih pasar yang tidak professional dan tidak memiliki advantage yang kompetitif siap-siap harus angkat kaki digantikan oleh produk-produk impor yang lebih kompetitif dan memberikan banyak kemudahan. Atau dalam sektor lain, bagaimana produk udang Indonesia mengalami penolakan di Uni Eropa hanya dengan alasan produk tersebut sudah mengandung zat antibiotika.

Di kawasan Amerika Latin pun mengalami hal yang sama, Sejumlah penolakan atas ekspor ikan tuna dari negara-negara di regional tersebut oleh negara-negara sasaran ekspor.Korea dan Jepang yang begitu bersemangat mengimpor produknya ke negara-negara berkembang menjelma hipokrit ketika menyatakan baru bisa membuka pasar ekspor berasnya pada 2010. Amerika Serikat yang juga akhirnya tak jauh berbeda dengan negara-negara Industri Kapitalisnya mengenakan standar ganda dalam perdagangan pasar bebas. Seperti mensyaratkan verifikasi dari US Government dengan Turtle Excluider Devise (TED) dengan alasan melindungi populasi penyu.

Global Village ?

Di bidang yang lain seperti yang ditayangkan dalam film Supersize Me dengan sutradara Morgan Sporluck, setidaknya telah membuka mata kita dengan fenomena yang menurut para sosiolog sudah ada grand designnya tersendiri yang dirancang demi kemudahan akses dan ekspansi lebih luas oleh Barat ke negara-negara dunia ketiga.

Dalam Film Dokumenter yang langsung diperankan oleh oleh Morgan Sporluck itu diperlihatkan bagaimana sang sutradara melakukan penelitian seberapa jauh dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan oleh Junk Food seperti Mc Donald dengan memakan berbagai variasi produk McD selama 30 hari lamanya dan baru terasa “something wrong” ketika menginjak hari ke-8 mulai adanya gejala addicted dan disusul geala lainnya seperti naiknya berat badan dua kali lipat,penurunan gairah,kenaikan kadar gula dan kolesterol,tekanan darah di atas normal dll. Namun McD baru satu di antara produk globalisasi budaya lainnya yang telah menggiring warga dunia untuk tunduk pada satu budaya. wajah, brand, warna, hingga sistem politik dan kalau perlu agama. Mulai dari sepatu Adidas hingga Starbucks. Dari hingar bingar di belantara kota-kota besar menjalar hingga ke kampung-kampung di pinggiran derap ibukota.

Ada lagi sebuah film pendek yang pernah saya saksikan jauh lebih kasar dan vulgar. Bagaimana globalisasi telah menyulap negara-negara berkembang atau bahasa realistisnya “Negara-Negara Dunia Ketiga” serta terbelakang sebagai surga bagi corporate-corporate multinasional. Menghisap keringat sumber daya alam dan manusia Indonesia untuk memaksimalkan laba dan memotong seringkas mungkin beban-beban dengan menekan biaya yang muncul dengan mencari lokasi industry yang paling murah dan Indonesia lah surga nan menawan

Tatanan Dunia Jilid II ?

However, tesisnya Globalisasi sebagai dinamika perdagangan pasar bebas dunia yang bila tak saja dipandang dari segi globalisasi ekonomi dalam wujud liberalisasi perdagangan maupun sosiologi, menghadapi antitesa yang muncul dari semangat mengembalikan pasar bebas yang lebih beradab dan berkeadilan. Ketidakaadilan dan ketimpangan social budaya hadir meruyak tatanan sistem penduduk dunia yang dulu dipercaya oleh penganutnya sebagai New World Order telah membuat tesis kemakmuran dan kesejahteraan melalui globalisasi telah terpatahkan.

Dan memang fitrahnya, Keadilan sebagai ukuran berapa lama kehidupan suatu bangsa dapat bertahan hidup dan kesejahtaraan yang dapat dapat lahir dari Yang Menciptakan Dunia dan seisinya. Bijaknya dalam menyikapi globalisasi dunia dalam realiatas yang kini kita harus hadapi baik sebagai pelaung mapun tantangan, tinggal memutar balik paradigma ilmu ekonomi dari wajahnya yang “sadis” hingga wajahnya kembali menemukan fitrahnya yang telah terputus.

Fitrahnya bertauhid dan mengembalikan paradigma scarcity pada cita rasa yang elegan atau dalam bahasanya Pak Ali Sakti dalam acara Diklat Ekonomi Islam Di Universitas Pancasila, How to maximizing what you have to contribute to others. Bukan bagaimana memaksimalkan just what you have today seperti dalam paradigmanya Kapitalisme dengan pelbagai wajah kembarnya. Karena hakikatnya semua yang kita miliki hanyalah amanah untuk dikelola dan digali potensinya untuk kemakmuran bumi dan seisinya, persis seperti pasal 33 Undang-undang dasar negara kita, dan akan kembali pada Yang Maha Menciptakannya dari tiada dan akan kembali dipertanggung jawabkan semua yang kita miliki.

Secara substantif, seperti sebuah judul buku Ekonomi Islam yang belakangan ini baru terbit Ekonomi Islam Substantif. Kebijakan-kebijakan Pemerintah atau yang banyak disusulkan oleh para ekonom dalam hal Ekonomi Global dan reaksi masyarakat dunia atas serbuan globalisasi menunjukkan pada kita selama ini sejatinya semua mengerucut menuju sistem perekonomian dan wajah budaya yang sesuai dengan fitrah individu manusia itu sendiri .Kalau dekade ini para pemuja liberalisme dan para pemeluk serta pembela globalisasi semakin bersemangat berteriak lantang atas nama kemakmuran dan kesejahteraan maka apa namanya kalau bukan menafikkan fitrah ?

Dan terlalu banyak naluri manusia yang dibelenggu dalam paradigma rasionalitas hingga akhirnya dimunculkan kembali mulai dari merumuskan ulang konsep ekonomi kerakyatan meski lebih banyak berkesan politis hingga penurunan suku bunga bank Indonesia dan dan seluruh bank sentral dunia besar-besaran seolah-olah telah melabrak pakem konvensional yang selama ini dianut.

Kalau semua telah mulai mengerucut pada kebijakan yang substantifnya bersentuhan dengan fitrah manusia maka Ekonomi Syariah bukan bermakna merombak total dari awal namun upaya pencerdasan manusia-manusia baru Indonesia agar membedakan mana yang layak dimodifikasi semula dan mana yang lebih pantas dibuang ke tong sampah sejarah. Tatanan dunia jilid dua bukan berarti politik isolasi. Di kutub pertengahan kita berdiri menuju Negeri Indonesia barakah yang bukan utopia tinggal selangkah dan Tatanan dunia pun lebih manis dan sejahtera !(Yassin El Cordova )

Hasan Al Banna dan Doktrin Ekonomi Ummat

Itulah Jiwa Sistem Ekonomi Islam dan ringkasan kaidah-kaidahnya, yang saya utarakan dengan seringkas-ringkasnya.Setiap kaidah itu memerlukan perincian yang dapat ditulis dalam berjilid-jilid buku.Apabila kita mau menjadikannya sebagai pedoman dan berjalan di atas cahayanya, niscaya kita dapatkan padanya banyak kebaikan. (Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan)

Sulit. Demikianlah kiranya jika kita hendak memisahkan sosok seperti Hasan Al Banna dari peta perjalanan kebangkitan Islam di paruh awal abad 20. Namanya dan sosoknya demikian unik untuk kembali dibedah.Seiring dengan semakin maraknya aroma kebangkitan yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam itu kian menjalar dan bergelora di pelosok bumi Islam. Ketika Majmuatur Rasailnya dan risalah pergerakannya terbit sebagai jawaban atas banyaknya permintaan yang masuk pada beliau agar membukukan seluruh visi dan gagasannya akan kebangkitan Islam dan dari mana harus dimulai. Maka tak bisa dipungkiri gagasannya ternyata tak hanya mencakup idea-idea politik semata namun juga seruan reformasi ekonomi umat dengan berpijak pada nilai-nilai islam. Lalu system ekonomi itu mampu memberdayakan potensi spiritual masyarakat dan kekuatan sosialnya. Mampu membangun keseimbangan antara produksi dan eksplorasi, antara investasi dan penyimpan. Serta antara ekspor dan impor.

Sekilas Hasan Al Banna

Doi, yang memiliki nama lengkap Hasan bin Ahmad bin Abdurahman Al Banna ini, lahir di sebuah kawasan dekat kota Kairo yaitu Mahmudiyya pada tahun 1906. Di usianya yang ke 12, Hasan Al Banna berhasil menghafal Al Qura’an berkat sentuhan didikan ayahnya, Syaikh Ahmad Al Banna. Dan juga kejeniusan dalam membagi waktu antara belajar di sekolah dan membantu ayahnya meraparasi jam dari siang hari hingga sore hari. Di usianya yang ke 16, Hasan Al Banna telah menjadi mahasiswa di Darul Ulum dan selepas kuliah, beliau ditunjuk untuk menjadi seorang guru SD di Ismailiyah. Dalam memoarnya, Hasan Al Banna juga memaparkan pengalamannya selain sebagai seorang guru sd di se buah madrasah di Ismailiyah juga beliau merintis perjalanan da’wahnya yang justru dimulai di kedai-kedai kopi di Kairo. Beliau banyak mengajak rekan-rekan sejawatnya untuk mulai menyampaikan kembali risalah islam di kedai-kedai kopi dengan cara dan teknik yang sangat unik. Dari sana aktivitas Hasan Al Banna mulai merambah ke pelbagai mushalla.

Sepakat dengan yang dipaparkan oleh Anis Matta dalam sebuah ulasannya mengenai Hasan Al Banna yang bahkan disebut olehnya sebagai “ Pemegang Saham Kebangkitan Islam”, Karena pemetaan jalan perubahan itu telah ia mulai susun dengan rapi lalu menyempurnakannya pada umur ke-22 dengan berdirinya Ikhwanul Muslimun.Ya, hingga digambarkan oleh Muhammad Iqbal, Intuisi dan fikrahnya telah menyatukan kembali masyarakat muslim mesir bak ikatan sapu lidi yang mengumpulkan kembali daun-daun yang berserakan. Hatta, dari kematiannya di ujung berondongan peluru para penembak misterius pada umurnya yang ke-40 tak membuat sistem kaderisasi ummat berhenti malah hampir dapat dipastikan pemikirannya dijadikan referensi perubahan transisi masyarakat muslim di penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia dan Asia Tenggara.

Doktrin reformasi Ekonomi Ummat

Tapi kecenderungan yang kerap kita miliki dalam membaca sejarah adalah tak pernah utuh. Lebih nyaman bagi kita untuk dapat menamatkan rangkaian sejarah dan segera tergesa menutup halaman terakhir dari sejarah yang tak pernah selesai itu pada kesimpulan yang keram memvonis. Maka, Hasan Al Banna pun tak luput ketika merancang pemetaan arah kebangkitan umat dari hal yang substantif dan sangat essensial dari Al Islam itu sendiri sebagai way of life. Ada sekitar sepuluh doktrin reformasi ekonomi umat yang dalam tulisan ini akan disingkat menjadi lima saja.

Salah satunya, Hasan Al Banna menekankan pada produktivitas kerja dan kestabilan perekonomian sektor riil ditopang dari produktivitas kerja itu sendiri. Hal ini juga selaras dengan perintah dari Allah dan RasulNya. “Dan katakanlah , “Bekerjalah kalian maka Allah dan RasulNya , dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata (At Taubah:105)

Prinsip kedua, beliau juga menekankan akan kemampuan ummat islam untuk mengeksplorasi lebih dalam harta kekayaan/ sumber daya alam yang selama ini ini masih belum tergali atau sudah tereksplorasi namun tak memberikan manfaat yang bagi Negara karena porsi privatisasi yang sedemikian berlebihan dan menjadi lumbung emas bagi corporate multinasional. Seketika negeri ini pun menjadi anak ayam yang mati kelaparan di lumbung padi dan yang parah telah mengakibatkan berlarut-larutnya krisis multidimensi sosial dan disintegrasi bangsa (kasus Aceh dan Papua )

Prinsip yang ketiga, adalah mendekatkan antara berbagai kelas ekonomi untuk memberantas kekayaan yang keji dan kemiskinan yang sengsara. Dalam prinsipnya yang yang ini, Hasan Al Banna mengkritik sejumlah perilaku dalam pasar yang dilandasi oleh semangat opportunisme dari segelintir orang dengan mengorbankan maslahah yang seharusnya bisa dicapai oleh masyarakat luas. Dalam Khazanah Ekonomi Islam, kita mengenal perilaku seperti tadlis, ihtikar,talqi jalab, alhadir lil ibad hingga gharar bahkan riba berperan nyata dan memaksimalkan kehadirannya sebagai akar dari sejumlah krisis keuangan dunia. Even, ambrolnya mata uang asia ketika para penulis barat meramalkan dengan gemilang kebangkitan Asia, yang ada sekumpulan fakta yang mengerikan akan semakin tak berartinya perekonomian Asia hatta China dan India sekalipun.

Prinsip keempat: Menegaskan tanggung jawab Negara dalam memelihara system ini. Sebagai agama yang pertengahan, Islam tidak mutlak mengkritik intervensi Negara maupun membiarkannya begitu saja tanpa intervensi. Bahkan Hasan Al Banna juga pernah menegaskan bahwa Negara adalah jantungnya pemerintahan. Kalau pemerintahnya korup maka korupnya menyebar ke tiap lini masyarakat dan apabila sehat atau bersih maka bersih pula tiap lini kehidupan masyarakat. Bagaimanapun tetap diperlukan regulasi dari pemerintah untuk menjamin tercapainya kesejahteraan dan terlindungnya nilai-nilai social dari kompetisi

Dan tentang prinsip kelima, Hasan Al Banna melarang adanya penggunaaan harta secara berlebihan atau israf. Dalam Majmuah Rasailnya, beliau menuliskan bahwa Islam melarang setiap pemimpin menyalahgunakan wewenang dan jabatan, melaknat penyuap. yang disuap dan orang yang jadi saksi penyuapan. Serta Hasan Al Banna juga mengkritik perilaku korupsi yang kenyatannya sebagai indikator utama kejatuhan kekhalifahan daulah Usmani. Karena pejabat Negara telah begitu berlebihan dalam memberdayakan harta Negara yang seharusnya didistribusikan secara adil kepada kalangan yang berhak. Sehingga terkenanglah doa Luthfi Pasha, seorang intelektual Usmani, “Bagi pejabat Negara ..Korupsi adalah penyakit tanpa obat penyembuh ..Berhati-hatilah..Ya Allah! Selamatkanlah Kami darinya !” Hingga salah satu landasan dan alas an dari berdirinya Ikhwanul Muslimun oleh Hasan Al Banna pada umur ke-22 adalah menyelamatkan moralitas dan akidah masyarakat muslim dari gelombang liberalisme pasca runtuhnya Khilafah Usmani.

Langkah-Langkah Reformasi Ekonomi Ummat

Tak cukup sampai disitu, Hasan Al Banna juga memuat sejumlah langkah yang seharusnya diambil oleh para penggiat dan khususnya stakeholder usaha reformasi ekonomi ummat itu sendiri. Seperti memandirikan mata uang bersama. Hasan Al Banna memandang dalam Majmuatur Rasailnya sangat penting kiranya akan mata uang yang mampu menjadi mata uang tunggal dalam hubungan perdagangan Internasional khususnya antar Negara-negara berpenduduk muslim.

Ya. Mata uang menyiratkan eratnya ikatan silaturahim dan ukhuwwah selain upaya mengenyahkan praktik ketidakadilan dan kezaliman yang selama ini kerap terjadi dalam perdagangan pasar bebas. Selain itu, Hasan Al Banna juga menyerukan melakukan nasionalisasi perusahaan kembali sebagai antitesa atas privatisasi besar-besaranyang selama ini diperkenankan terjadi. Tentunya yang dimaksud oleh beliau bukan praktik nasionalisme ala Negara-negara sosialis seperti Venezuela dan Kuba. Nasionalisasi diberlakukan secara tidak professional dan serampangan. Namun seperti yang dijelaskan oleh beliau dalam Majmuatur Rasailnya, membersihkan masyarakat luas dari tangan-tangan asing dan yang paling vital, menyangkut kebutuhan hidup masyarakat luas.

Selain itu semua, yang paling vital dalam reformasi ekonomi Ummat adalah memerangi dan mengharamkan riba. Juga menyerukan menghancurkan berbagai system yang dibangun di atasnya. Sekilas Nampak seperti gagasan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Nizhamul Iqtishod mengenai revolusi ekonomi yang merombak total system kapitalisme saat ini dan menggantikannya dengan system ekonomi Islam. Namun membaca dan menelaah keseluruhan karya beliau, Hasan Al Banna, sulit rasanya untuk segera mengambil kesimpulan bahwa itulah secara literal yang dikehendaki. Namun, Hasan Al Banna ternyata memberikan contoh dari yang paling sederhana yaitu menghapuskan bunga atau interest dalam pelbagai proyek ekonomi secara khusus. Masih ada sejumlah langkah dan taktik yang digagas oleh Hasan Al Banna dan dijadikan referensi bagi para penggiat dan stakeholder ekonomi Ummat dalam rangka pembenahan . Kesemuanya mengacu pada dukungan reformasi di sektor Riil serta produktifitas kerja masyarakat.

Da'wah Kampus di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Adalah Keharusan

Rekontruksi adalah serangkaian Proses. Ia memerlukan usaha multi sikap dari para intelektual yang memiliki latar belakang pendidikan dan sisplin yang berbeda . Seluruh konsentrasinya dan fokusnya adalah dalam rangka segala usaha lintas disiplin ilmu untuk merekonstruksi peradaban kaum muslimin kembali

(Ziauddin Sardar, Islamic Future: The Shape of Ideas to Come)

Membaca buku yang ditulis oleh akh Arya Sandiyudha “Renovasi Da’wah kampus” semakin menguatkan tema wacana ini menuju alam yang nyata. Kalau selama ini telah dipandang umm dan wajar geliat dan restrukturisasi bangunan da’wah kampus yang notabene menda[patkan tempatnya di kampus-kampus “Konvensional” maka wajar jugakah keberadaan pergerakan dakwah kampus di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam ?

Untuk sementara dalam pandangan yang kasat mata, kita mengasumsikannya sebagai comfort zone. Tetapi dihubungkan dengan keberadaan dakwah kampus maka ia bermakna menjaga dan menumbuh kembangkan lingkaran core competence ke alam pandangan hidup (Worldview) holistik atau dalam bahasanya Arya Sandiyudha, Epistomologinya juga hayawi dan memiliki paradigma yang madani dalam satu bangunan yang solid,alit dan elit.

Permasalahan yang kerap muncul sebagai motif mengapa keberadaan da’wah kampus perlu direvitalisasi adalah sebagai realitas. Comfort zone telah menjebakdua pihak yang seharusnya satu sama lain tersinergikan menjadi upaya rekontruksi yang ideal dari yang dicita-citakan.

Kampus Sekolah Tingi Ekonomi Islam Tazkia ini adalah bagian dari upaya menerjemahkan pandangan hidup Islam dalam kerangka core competence Ekonomi Islam di lingkup pendidikan dan outputnya adalah SDM-SDM yang dipersiapkan mengisi kekosongan dan kehampaan ruangan belantara ekonomi Syariah du ruang publik yang lama menunggu.

Hal itu terjadi dikarenakan ketika praktik perbankan syariah telah lama tumbuh jauh sebelum kerangka teoritis pendidikan Ekonomi Islam selesai dibangun. Maka efeknya Ekonomi islam telah terdistorsi sama dengan entitas Lembaga Keuangan Syariah. Tergerusnya asset dan menurunnya laba bersih Lembaga Keuangan Syariah sama dengan meredupnya euforia Ekonomi Syariah itu sendiri. Kemudian effek bergandanya adalah idea-idea ekonomi islam hanya diidentikkan dengan permintaan pasar yang ingin safety dari Krisis Ekonomi Global !

Jangan ada lagi Formalitas Syariah tanpa Jiwa, begitu yang diingatkan oleh pak Adiwarman Karim dalam kolom analisisnya di harian Republika(13/09). Maka sudah seharusnya pendidikan ekonomi Islam dan kajian-kajian atau bahkan kuliah informal Ekonomi Islam jangan sampai menjauhkan dari ruh Islam itu sendiri atau sebatas kajian formal; ilmu tererap namun tanpa penekanan ideologis dari epistomologi Islam yang vital itu sendiri.

Dengan kata lain, kajian-kajian hingga kuliah informal Ekonomi Islam tak semakin membuat pelaku dan ruangan aktifitasnya semakin dekat dengan Allah SWT. Maka tepatlah kekata Imam Syafii : barangsiapa yang belajar Fiqh tanpa akhlak maka ia akan rusak sebaliknya yang hanya tenggelam pada tasauf akan juga fasid maka, kata Imam Syafii, yang baik dan benar adalah mempelajari kduanya antara fiqh dan akhlak juga aqidah. Dari sinilah peran da’wah kamus membangun paradigma dan gerak warga kampus dalam bingkainya yang holistik dan integratif.

Karena untuk membangun kekosongan sistem dibutuhkan sinergitas yang tulus dari para penghuninya. Singkatnya, kerja besar dan proyek peradaban yang bernama dakwah kampus itu adalah menyiapkan dan mencetak kembali akal-akal raksasa yang kompatible dan pas dengan deru globalisasi zamannnya. Disebabkan Dakwah kampus ini bukan bagaimana sekedar mensupply SDM-SDM yang fresh graduate kerja di pelbagai Lembaga Keuangan Syariah tetapi mengisi pola pikir atau mind set SDM-SDM itu untuk bergerak lebih unversal dan dinamis. Kalau sekedar menjadi Supplier niscaya founding fathers STEI Tazkia, Syafii Antonio, takkan pernah repot-repot hingga kini membangun kampus di Sentul. Tetapi ada tujuan yang sifatnya lebih mengekal dan berkesinambungan hingga mencapai entry point yang salah satunya dicita-citakan: menciptakan para Intelektual yang Hybrid; fasih akan Tafsir, Hadits, Fiqh Muamalah, Ushul Fiqh namun di saat yang sama juga kepakaran dalam hal Akuntansi Biaya, Akuntansi Manajemen, Regresi dan korelasi, Sistem Informasi Akuntansi dll.

Hal lainnya, menurut Arya Sandiyudha, adalah bagaimana da’wah kampus telah menata dalam jiwa-jiwa para alumnus Universitas memiliki afiliasi pada islam minimalnmya, menyepadankan antara nilai-nlai Islam yang telah dia dapatkan selama dalam lingkaran dakwah kampus dengan core competence yang ia miliki dan kemudian menumbuhkembangkanya. Maka, untuk di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam ini atau di KSEI-KSEI yang memiliki hubungan erat dengan LDK di masing-masing kampusnya lebih pada misi The Islamization of Knowledgenya dari subject Ekonomi itu sendiri.

Ala Kulli Hal, seperti yang menajdi judul tulisan ini dan juga pandangan dari Ziaudin Sardar mengenai upaya rekonstruksi peradaban. Dakwah kampus di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam maupun di Universitas-Universitas yang telah telah membuka KSEI dan prodi Ekonomi Islam akhirnya menjadi satu keharusan juga keniscayaan. Oleh karena itu, kata Sardar, Ia memerlukan usaha multi sikap dari para intelektual. Dalam hal ini mahasiswa sebagai intelektual kampus, untuk mengembalikan The Golden Glory yang pernah raib dan tengelam dari genggaman dunia Islam. Anggaplah jalan ini bukan saja kontribusi dari satu subject untuk terekonstruksinya peradaban yang kita idamkan kembali. Tetapi juga melanjutkan pekerjaan rumah yang selama ini terbengkalai di ranah keilmuan dan implementasi rancang bangun ekonomi Syariah yang sudah lima belas tahun berjalan di Indonesia.

Enlightment Strategi Industri Kreatif (Berbasis) Reaktif

Merujuk pada gejolak industry perekonomian yang melibatkan pro rakyat pada elemen-elemen tertentu, seperti pada idul Fithri atau semasa bulan Ramadhan yang membuka pintu baru sentral kekuatan ekonomi rakyat. Momen sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri juga mencatat pertambahan kualitas kekuatan industry kreatif mulai dari Industri parsel semepat khawatir “gulung tikar “ karena keputusan KPK tentang pelarangan gratifikasi dari bawahan ke atasan bagi para pegawai negeri sipil.

Di ramadhan pula tempatnya bagi industry makanan yang membanjir tiap tahun. Di lain sisi, Industri Kreatif ini ada pula yang bersifat reaktif dan mempunyai kedudukan antara positif dan negatif. Seperti produk-produk muslim style pasca ekspansi Zionis ke Ghaza Palestina. Mengundang pelbagai raksi dari public dunia tak terkecuali berimbas ke sentral perdagangan. Seruan boikot yang diserukan oleh Rabithah Alam Al Islamy untuk memboikot tiap produk yang diidentifikasi menyumbang 1 % untuk Israel.Sebutlah produk-produk yang lahir dari implikasi gejolak tadi.

Implikasi dan ouput yang bisa diterima dari imbas ini sangat penting. Ibarat boomerang, perekonomian bisa menjadi senjata politik ampuh untuk setidaknya menahan invasi yang lebih besar. Juga kadar reaktifitas dari industry “kreatif ini telah membuka kanal baru bagi para konsumen yang nota bene memiliki ghirah keislaman yang kental dan melebar lagi konsumen muslim yang sadar akan identitas keislamannya. Belum dengan adanya Industri kreatif itu sendiri berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan, PDB Industri kreatif telah menyumbang pada PDB nasional sebesar 6,3% atau setara dengan 154 Trilyun terhadap PDB dengan harga yang berlaku.

Seperti awal mula Bank Syariah, mempunyai kanal baru berasal dari masyarakat muslim yang memiliki kadar emosionalitas keislaman yang kental telah juga menajdi aspek pendorong bergulirnya perubahan di sector perbankan. Nah, di sector Industri kreatif ini perubahan juga telah dan sedang berjalan dengan adanya kanal baru bagi ummat Islam mengkonsumsi produk yang halal dan nilai tambahnya serta pembeda dari semua produk yang dimiliki Industri kreatif yaitu thayiibah dan falah. Namun, kita juga tak bisa bergembira dengan cepat mengingat ada factor lain yang berpotensi menghambat tumbuhnya Industri Kreatif yang unik ini.

Pertama permintaan pasar akan menjadi kanal baru sector produksi dan konsumsi yang megikuti gelagat konflik di Palestina sana. Dua mandengnya usaha karena tidak mendapatkan sokongan secara nyata dari Industri keuangan Syariah untuk memperpanjang usia hidupnya. Kalua yang pertama bisa diatasi dengan profesionalitas market dan dan modifikasi produk yang bisa diterima siapa saja atau menghilangkan kesan ekslusif . Ada yang bilang kalau symbol-simbol Islam akan mampu menjadi perlawanan total pada hegemoni American West tapi kenyataanya Band Ungu lebih seronok juga kalau sudah lekat dengan model-model “Intifada” seperti Kafiyeh. Kapitalisme memang belum mati namun selalu mereduplikasi diri dan memodifikasi tak terkecuali mengambil atribut-atribut atau fenomena keislaman. Padahal, kalau mau direnungkan Industri Kreatif yang berbasis reaktifitas tadi berpotensi menyaingi keberadaan distro-distro dikota-kota besar di Jawa Barat yang sarat dengan para pelancong dari Ibukota dan menyiratkan symbol budaya pop western. Dan untuk yang kedua sinergisasi BMT hingga BPRS dalam penyaluran pembiayaan ke lini unit mikro kecil menengah.

Ada keunikan dari gaya berekonomi orang Indonesia. Kala Lehman Brothers Ambruk. Kala General Motors ketar-ketir bangkrut. Hatta Paul Krugman Analyst Ekonomi Amerika bisa berucap setengah lega dengan pengangguran yang meningkat pesat seiring recovery pertumbuhan Ekonomi Amerika. Atau Kala Malaysia yang memang secara “assabiqunal Awwalun” lebih awal mengintegrasikan system perbankan Syariah ke pereokonomian mereka di saat yang sama perbankan Syariah di Malaysia yang hnaya mereduplikasi produk keuangan konvensional dan harus kelak kehilangan pembeda rasa antara perbankan Syariah dengan perbankan konvensional.

Indonesia, telah diperhitungkan sebagai Emerging Market yang berpotensi membesar hatta menyaingi China dan India sekalipun. Ditilik dari pasar tenaga kerja yang bekerja di UMKM rata-rata antara periode tahun 2002 hingga 2006 mencapai 3.702.447, tingkat partisipasi pekerjaan sebesar 3.96 % plus volume pasar Indonesia yang lebih huge sebesar 240 juta dibandingkan dengan Negara tetangganya hanya 24 juta. Di Indonesia pun tercatat pengembangan volume pasar mikro yang bahkan dikatakan oleh pakar keuangan International, Dr Mohammad Obaidullah, telah mapan sebagai system. Bagaimana tidak ada sekitar 134 BPRS,3200 BMT dan 500 an Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Terlepas dari sejumlah kekurangan disana –sini, kita patut berbangga dan it’s time to begin changes. Apakah Itu Industri Kreatif berbasis Reaktif ataukah Reaktif yang menjelma Industri akan jauh lebih efektf apabila titik tekan sosialisasinya dan pengembangan pasarnya pada sinergisasi dan optimalnya BMT dan Unit Usaha Kecil Menengah. Daripada sekedar reaktifitas belaka. Seperti yang dipaparkan nomor pertama.

Memaknai kembali Asa Perubahan Pemuda Islam

Harapan akan reformasi dan perubahan selalu disandarkan pada kaum muda. Sayangnya kenyataan menunjukkan ketika kaum muda mendapatkan apresiasi untuk duduk dikursi kehormatan dengan menjadi anggota dewan maupun duduk di kementrian, banyak diantara mereka yang tidak mampu mengemban amanah reformasi.

(Muhammad Nadjib , Mahasiswa S3 University of Tokyo )


Di tiap detak jantung manusia yang setia dengan seizin sang Maha Pencipta selalu ada gelegak bangun dan rebah dari nuansa yang lebih dominan stagnan menuju relung manusia yang lebih dinamik dan penuh berkibar murninya estetika

Maka demikianlah gerak manusia yang mudah jenuh untuk segera melepaskan jiwa raganya pada arah taraf berkehidupan yang lebih baik lalu kita memaknainya dengan nama :Perubahan

Syahdan, dalam sebuah kuliah umum di Aula Ibnu Khaldun STEI Tazkia, bersama dengan Syafii Antonio, Palgunadi setyawan pernah mengkritik sebuah bilboard yang terpempang dengan megahnya di jalanan tol kota Bogor “Perubahan Itu Perlu." maka pak Pal pun dengan kreatifnya beliau memberikan kritik “Kalau disebut perubahan itu perlu maka akan ada opsi selain “perlu “ untuk tidak perlu melakukan perubahan “. Kemudian beliau melanjutkan “sebuah tulisan yang apalagi dipublikasikan atau diiklankan secara ke khalayak ramai tentunya bermula dari pemikiran dalam kepala seseorang akan tetapi bagaimana halnya bila pada realitanya pemikiran itu juga melukiskan metode / cara berfikir seseorang yang kahirnya terjewantahkan dalam bentuk sebuah karya atau ciptaan. Nah kalau dari cara berfikirnya saja sudah salah atau keliru maka yang akan dihasilkan juga lebih fatal akibatnya. "

Ya. memang benar demikian adanya. Bagi mereka yang tak biasa menelaah lebih dalam atau mereka yang dalam keadaan gamang mudah saja diserap menjadi persepsi yang mendapatkan justifikasinya dan bahkan inspirasi ! Blunder abis jadinya khan. ? Sama halnya di saat yang sama ketika pak Pal memberikan kuliah umum di aula Ibnu Khaldun, di luar sana sederet paratai politik tengah menggencarkan tema-tema mengenai perubahan dan potensi anak muda Indonesia untuk menjadi pemimpin baru bangsa Indonesia.

Kalau menolak disebut sebagai bagaian dari sikap pragmatisme belaka, maka keikhlasan itu seharusnya tercermin dari sikap tulus jiwa-jiwa kadernya yang tak lagi melambangkan sikap figuritas semata atau malah membudayakan power oriented saja di tubuh internal partai. Dalam banyak kasus, terlalu sering berulang di media massa konflik internal partai yang bermula dari sikap ketidak puasan yang membuahkan kekecewaan para kader di tingkat daerah pada tingkat pusat hanya bermula ketidak puasan itu mengalir dari tak adanya tingkat return yang seimbang dengan pengabdian dalam tubuh partai antara modal dengan out put yang dihasilkan.

Dari sana para kader di tingkat bawah dan akar rumput ini yang telah lama dijejali persepsi mengenai perubahan kedudukan, adalah hal yang wajar bahkan patut diperjuangkan. jelas kecewa dengan sikap anggota fungsionaris partai yang tak mendudukan mereka sebagai calon legislatif dengan nomor urut 1 !

Tapi itulah fakta bagaimana mereka pun telah lama menyelami perubahan dengan warna dan maknanya yang paling salah kaprah, Dari sekedar supir mikrolet hingga kenek bus reguler atau bahkan preman di pasar tergerak hatinya untuk berubah. Berubah dan menggulirkan perubahan untuk taraf hidup yang lebih baik. Berubah pada janji-janji mitos ratu adil yang akan muncul dalam bentuk manusia setengah dewa dan mempin bangsa ini keluar dari tumpukan penderitaan serta merta. Lalu lahirlah kultus individu pada sosok publik figure hingga mau rela dijadikan massa yang terombang-ambing dan berani melakukan apa saja asal yang diidolakannya terpilih sebagai gubernur kah, walikota kah, atau sekelas kepala RT /RW

Dan itu pun juga sudah berubah sebagaimana yang kerap dijargonkan oleh para partai dan ketua partainya menjelang 2009 dan pil pres. Tapi kenyataanya rakyat kian jenuh dan terantuk pada satu tekanan ekonomi ke tekanan yang lain di tiap-tiap masa kepemimpinan , itulah mengapa sahabat saya pernah menjulukinya sebagai kabinet cuci piring .

Pembangunan ekonomi pun berjalan paradoks dan sarat dengan ketimpangan setelah 63 tahun Indonesia merdeka. Cita-cita pembangunan Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 kian jauh api dari panggangnya dan hasilnya pertumbuhan ekonomi walaupun telah mencapai 6,1 % lalu terkoreksi semasa awal krisis ekonomi global menjadi 5.5 % dan diprediksikan kembali menjadi 6,4% atau bahkan bisa lebih sekali. Di luar sana rupiah kian terdepresiasi menuju angka 13.400 per US Dollar. Indover kolaps, dan yang terakhir central bank diduga kuat mengalami macet likuiditas .

Lalu dimanakah keberkahan dari sekian panjang derap perubahan yang telah dialami bangsa Indonesia , especially pasca Reformasi, pembangunan kemanusiaan Indonesia meluncur drastis pada derajat kejahiliyahan post modern dan teriakan nyaring para pengamen bus kota dan asongan lebih kerasa benernya dibandingkan dengan klaim-klaim formalitas para pejabat dan menteri yang terhormat. Telah terkuburkah amanah reformasi ? dan telah terjajah kembalikah terjajah bumi yang kaya dengan hasil alamnnya ini ??

Para pejuang kita, sekiranya bila tak pernah membaca Innalaha la yughayiru maa biqaumin hatta yughayiruu maa bianfusihim. Maka tak pernah terberkas di jantung mereka bahwa tak mustahil Indonesia memperoleh jati dirinya dalam bingkai kesatuan negara republik Indonesia. Tak pernah terbersit pada pemikiran mereka bahwa tak ada lagi kompeni sang penindas dan nippon sang perampas dalam kamus kehidupan bangsa Indonesia setelah lama berbagai perlawanan berhasil dipatahkan dengan sempurna oleh para penjajah berkat pertolongan para inlander kaki tangan kumpeni atawa kempetai.

Ia menjadi bola salju yang menggelinding dengan dahsyatnya di jiwa mendidih para pemuda Islam untuk bersama mengenyahkan kangkangan para penjajah untuk bersama bisa hidup dalam sebuah negara yang dicita-citakan Baldatun Thayibattun wa rabbun ghafur , itulah Indonesia .

Demikianlah ayat yang telah membakar ghirah Muhammad Thaha menjadi martir agung kedaulatan bangsa Indonesia dan eksistensinya di kota Bandung. Maka Muhammad Natsir kini pun tercetak sebagai salah satu bentuk sejarah perlawanan yang membongkar distorsi sejarah itu sendiri. Ghirah Muhammad Natsir berkontribusi mengkaderisasi pejuang dakwah dengan mendirikan IAIN Jakarta hingga menatah di atas lembaran sejarah kehidupannya dengan mengabadikan seluruh pemikiran beliau dalam bukunya Fiqhud Da’wah.

Ada ghirah Haji Omar Said Cokroaminoto di usianya yang masih tergolong belia telah merentas lahirnya benih-benih Ekonomi Islam melalui Serikat Dagang Islamnya. Atau ada KH Agus Salim yang mampu menguasai lima bahasa, melakukan lobi-lobi hingga ke Mesir dan berjumpa dengan Hasan Al Banna di masa –masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Perjalanan bangsa yang memilukan dan tak terhitung berapa yang telah dikeluarkan seraya sesekali menatap ke belakang melalui lembaran-lembaran sejarah, seharusnya menguatkan kita di jalan da’wah mendobrak skema dan paradigma perubahan dalam maknanya yang lebih produktif. tetap terjaga ashalah da’wahnya, ikhlas, istiqamah, sarat dengan Idealisme dan optimis serta digulirkan secara berkesinambungan. Karena dalam masalah amal pun Rasulullah SAW lebih menyukai amal yang perlahan-lahan namun berkelanjutan bukan secara tiba-tiba lalu berhenti di tengah jalan atau tiba-tiba lebih tergiur oleh realitas yang kebetulan saat itu tengah menemukan ruang fenomenanya untuk segera tercebur dalam budaya latah.

Di negeri para Azhari, adalah seorang Imam Asy Syahid Hasan Al Banna di usianya yang masih menginjak 19 tahun sepanjang ramadhan melaluinya dengan bertubi-tubi kegelisahan. Kegelisahan pada meruyaknya degradasi akhlak rakyat Mesir disebabkan bebas leluasanya paham liberalisme dan sekularisme menjangkiti negeri itu di saat yang bersamaan jatuhnya Khilafah Islamiyah di Turki oleh Mustafa Kamal.

Tapi malah disanalah cikal bakal tumbuhnya Ikhwanul Muslimun sebagai lokomotif pergerakan Islam menuju masa-masa kebangkitan ummat bermula dari adanya inisiatif dari Hasan Al Banna untuk melakukan sesuatu membendung arus liberalisme dan sekularisme yang kemudian banyak mendapatkan dukungan dari para pemuda dengan terjaga hamasah dan ghirahnya untuk kemudian mendesak para ulama Al Azhar yang hampir menyerah pada gelombang destruktif ini untuk berbuat sesuatu yang nyata wujudnya. Dan terbitlah majalah Al Fath dan Asosiasi Pemuda Islam yang banyak memberikan angin segar pada umat islam di Mesir .

Sesuatu yang ingin dilakukan Hasan Al Banna sarat dengan pesan-pesan perubahan bahwa untuk mencapainya tidak dalam angan-angan yang nikamt di atas kata saja .Dan itu terbukti dari putaran kencangn azzam seorang Hasan Al Banna di usianya yang masih sangat belia kemudian mendorong para ulama Al Azhar yang kala itu hampir menyerah, untuk melakukan tindakan nyata serta mendesain poros utama perubahan besar itu.