Harapan akan reformasi dan perubahan selalu disandarkan pada kaum muda. Sayangnya kenyataan menunjukkan ketika kaum muda mendapatkan apresiasi untuk duduk dikursi kehormatan dengan menjadi anggota dewan maupun duduk di kementrian, banyak diantara mereka yang tidak mampu mengemban amanah reformasi.
(Muhammad Nadjib , Mahasiswa S3 University of Tokyo )
Di tiap detak jantung manusia yang setia dengan seizin sang Maha Pencipta selalu ada gelegak bangun dan rebah dari nuansa yang lebih dominan stagnan menuju relung manusia yang lebih dinamik dan penuh berkibar murninya estetika
Maka demikianlah gerak manusia yang mudah jenuh untuk segera melepaskan jiwa raganya pada arah taraf berkehidupan yang lebih baik lalu kita memaknainya dengan nama :Perubahan
Syahdan, dalam sebuah kuliah umum di Aula Ibnu Khaldun STEI Tazkia, bersama dengan Syafii Antonio, Palgunadi setyawan pernah mengkritik sebuah bilboard yang terpempang dengan megahnya di jalanan tol kota Bogor “Perubahan Itu Perlu." maka pak Pal pun dengan kreatifnya beliau memberikan kritik “Kalau disebut perubahan itu perlu maka akan ada opsi selain “perlu “ untuk tidak perlu melakukan perubahan “. Kemudian beliau melanjutkan “sebuah tulisan yang apalagi dipublikasikan atau diiklankan secara ke khalayak ramai tentunya bermula dari pemikiran dalam kepala seseorang akan tetapi bagaimana halnya bila pada realitanya pemikiran itu juga melukiskan metode / cara berfikir seseorang yang kahirnya terjewantahkan dalam bentuk sebuah karya atau ciptaan. Nah kalau dari cara berfikirnya saja sudah salah atau keliru maka yang akan dihasilkan juga lebih fatal akibatnya. "
Ya. memang benar demikian adanya. Bagi mereka yang tak biasa menelaah lebih dalam atau mereka yang dalam keadaan gamang mudah saja diserap menjadi persepsi yang mendapatkan justifikasinya dan bahkan inspirasi ! Blunder abis jadinya khan. ? Sama halnya di saat yang sama ketika pak Pal memberikan kuliah umum di aula Ibnu Khaldun, di luar sana sederet paratai politik tengah menggencarkan tema-tema mengenai perubahan dan potensi anak muda Indonesia untuk menjadi pemimpin baru bangsa Indonesia.
Kalau menolak disebut sebagai bagaian dari sikap pragmatisme belaka, maka keikhlasan itu seharusnya tercermin dari sikap tulus jiwa-jiwa kadernya yang tak lagi melambangkan sikap figuritas semata atau malah membudayakan power oriented saja di tubuh internal partai. Dalam banyak kasus, terlalu sering berulang di media massa konflik internal partai yang bermula dari sikap ketidak puasan yang membuahkan kekecewaan para kader di tingkat daerah pada tingkat pusat hanya bermula ketidak puasan itu mengalir dari tak adanya tingkat return yang seimbang dengan pengabdian dalam tubuh partai antara modal dengan out put yang dihasilkan.
Dari sana para kader di tingkat bawah dan akar rumput ini yang telah lama dijejali persepsi mengenai perubahan kedudukan, adalah hal yang wajar bahkan patut diperjuangkan. jelas kecewa dengan sikap anggota fungsionaris partai yang tak mendudukan mereka sebagai calon legislatif dengan nomor urut 1 !
Tapi itulah fakta bagaimana mereka pun telah lama menyelami perubahan dengan warna dan maknanya yang paling salah kaprah, Dari sekedar supir mikrolet hingga kenek bus reguler atau bahkan preman di pasar tergerak hatinya untuk berubah. Berubah dan menggulirkan perubahan untuk taraf hidup yang lebih baik. Berubah pada janji-janji mitos ratu adil yang akan muncul dalam bentuk manusia setengah dewa dan mempin bangsa ini keluar dari tumpukan penderitaan serta merta. Lalu lahirlah kultus individu pada sosok publik figure hingga mau rela dijadikan massa yang terombang-ambing dan berani melakukan apa saja asal yang diidolakannya terpilih sebagai gubernur kah, walikota kah, atau sekelas kepala RT /RW
Dan itu pun juga sudah berubah sebagaimana yang kerap dijargonkan oleh para partai dan ketua partainya menjelang 2009 dan pil pres. Tapi kenyataanya rakyat kian jenuh dan terantuk pada satu tekanan ekonomi ke tekanan yang lain di tiap-tiap masa kepemimpinan , itulah mengapa sahabat saya pernah menjulukinya sebagai kabinet cuci piring .
Pembangunan ekonomi pun berjalan paradoks dan sarat dengan ketimpangan setelah 63 tahun Indonesia merdeka. Cita-cita pembangunan Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 kian jauh api dari panggangnya dan hasilnya pertumbuhan ekonomi walaupun telah mencapai 6,1 % lalu terkoreksi semasa awal krisis ekonomi global menjadi 5.5 % dan diprediksikan kembali menjadi 6,4% atau bahkan bisa lebih sekali. Di luar sana rupiah kian terdepresiasi menuju angka 13.400 per US Dollar. Indover kolaps, dan yang terakhir central bank diduga kuat mengalami macet likuiditas .
Lalu dimanakah keberkahan dari sekian panjang derap perubahan yang telah dialami bangsa Indonesia , especially pasca Reformasi, pembangunan kemanusiaan Indonesia meluncur drastis pada derajat kejahiliyahan post modern dan teriakan nyaring para pengamen bus kota dan asongan lebih kerasa benernya dibandingkan dengan klaim-klaim formalitas para pejabat dan menteri yang terhormat. Telah terkuburkah amanah reformasi ? dan telah terjajah kembalikah terjajah bumi yang kaya dengan hasil alamnnya ini ??
Para pejuang kita, sekiranya bila tak pernah membaca Innalaha la yughayiru maa biqaumin hatta yughayiruu maa bianfusihim. Maka tak pernah terberkas di jantung mereka bahwa tak mustahil Indonesia memperoleh jati dirinya dalam bingkai kesatuan negara republik Indonesia. Tak pernah terbersit pada pemikiran mereka bahwa tak ada lagi kompeni sang penindas dan nippon sang perampas dalam kamus kehidupan bangsa Indonesia setelah lama berbagai perlawanan berhasil dipatahkan dengan sempurna oleh para penjajah berkat pertolongan para inlander kaki tangan kumpeni atawa kempetai.
Ia menjadi bola salju yang menggelinding dengan dahsyatnya di jiwa mendidih para pemuda Islam untuk bersama mengenyahkan kangkangan para penjajah untuk bersama bisa hidup dalam sebuah negara yang dicita-citakan Baldatun Thayibattun wa rabbun ghafur , itulah Indonesia .
Demikianlah ayat yang telah membakar ghirah Muhammad Thaha menjadi martir agung kedaulatan bangsa Indonesia dan eksistensinya di kota Bandung. Maka Muhammad Natsir kini pun tercetak sebagai salah satu bentuk sejarah perlawanan yang membongkar distorsi sejarah itu sendiri. Ghirah Muhammad Natsir berkontribusi mengkaderisasi pejuang dakwah dengan mendirikan IAIN Jakarta hingga menatah di atas lembaran sejarah kehidupannya dengan mengabadikan seluruh pemikiran beliau dalam bukunya Fiqhud Da’wah.
Ada ghirah Haji Omar Said Cokroaminoto di usianya yang masih tergolong belia telah merentas lahirnya benih-benih Ekonomi Islam melalui Serikat Dagang Islamnya. Atau ada KH Agus Salim yang mampu menguasai lima bahasa, melakukan lobi-lobi hingga ke Mesir dan berjumpa dengan Hasan Al Banna di masa –masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Perjalanan bangsa yang memilukan dan tak terhitung berapa yang telah dikeluarkan seraya sesekali menatap ke belakang melalui lembaran-lembaran sejarah, seharusnya menguatkan kita di jalan da’wah mendobrak skema dan paradigma perubahan dalam maknanya yang lebih produktif. tetap terjaga ashalah da’wahnya, ikhlas, istiqamah, sarat dengan Idealisme dan optimis serta digulirkan secara berkesinambungan. Karena dalam masalah amal pun Rasulullah SAW lebih menyukai amal yang perlahan-lahan namun berkelanjutan bukan secara tiba-tiba lalu berhenti di tengah jalan atau tiba-tiba lebih tergiur oleh realitas yang kebetulan saat itu tengah menemukan ruang fenomenanya untuk segera tercebur dalam budaya latah.
Di negeri para Azhari, adalah seorang Imam Asy Syahid Hasan Al Banna di usianya yang masih menginjak 19 tahun sepanjang ramadhan melaluinya dengan bertubi-tubi kegelisahan. Kegelisahan pada meruyaknya degradasi akhlak rakyat Mesir disebabkan bebas leluasanya paham liberalisme dan sekularisme menjangkiti negeri itu di saat yang bersamaan jatuhnya Khilafah Islamiyah di Turki oleh Mustafa Kamal.
Tapi malah disanalah cikal bakal tumbuhnya Ikhwanul Muslimun sebagai lokomotif pergerakan Islam menuju masa-masa kebangkitan ummat bermula dari adanya inisiatif dari Hasan Al Banna untuk melakukan sesuatu membendung arus liberalisme dan sekularisme yang kemudian banyak mendapatkan dukungan dari para pemuda dengan terjaga hamasah dan ghirahnya untuk kemudian mendesak para ulama Al Azhar yang hampir menyerah pada gelombang destruktif ini untuk berbuat sesuatu yang nyata wujudnya. Dan terbitlah majalah Al Fath dan Asosiasi Pemuda Islam yang banyak memberikan angin segar pada umat islam di Mesir .
Sesuatu yang ingin dilakukan Hasan Al Banna sarat dengan pesan-pesan perubahan bahwa untuk mencapainya tidak dalam angan-angan yang nikamt di atas kata saja .Dan itu terbukti dari putaran kencangn azzam seorang Hasan Al Banna di usianya yang masih sangat belia kemudian mendorong para ulama Al Azhar yang kala itu hampir menyerah, untuk melakukan tindakan nyata serta mendesain poros utama perubahan besar itu.